Syafiul Anam. Diberdayakan oleh Blogger.

Terjemahkan

Perkenalkan

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Orang yang paling cerdik adalah orang yang selalu mengingat kematian dan senantiasa bersedia menghadapinya

Minggu, 08 Desember 2013

HENING ( CERPEN )

“Quumuu qiyaama” , teriak salah seorang murid. Serempak anak-anak sekelas berdiri menghormati Ustadz yang berdiri di depan kelas. Ustadz memberikan salam kemudian berjalan keluar ruangan kelas.
“Dam, horee kelas kita pulang cepat , ayo kita maen mobil-mobilan tamiya ! , kita adu balap di taman sekolah” kata Rudi sambil mengemasi buku tulis diatas mejanya.
“ Ayo Rud , jarang-jarang ada kesempatan buat maen di sore hari” , jawabku tersenyum sambil bergegas keluar kelas, disusul Rudi yang berjalan dibelakangku. Kami berjalan di lorong kelas menuju tempat parkir sepeda. Terlihat dari pintu-pintu kelas disamping lorong, Ustadz sedang mengajar kakak-kakak kelas Kami. Kami mengambil sepeda yang diparkir di belakang plang bertuliskan “Madrasah Roudhotul Athfal”
****
“Assalamualaikuuum, Adam pulang Buuu” teriakku sembari berhambur masuk ke rumah. “Lho kok, jam segini udah pulang dam ? jangan lupa ganti baju, digantung, jangan dilempar di kursi” Suara perempuan tua yang tidak lain adalah ibuku terdengar dari dapur .  Segera Aku  menaruh tas, mengganti baju, melemparnya ke kursi, dan melemparkan peci ke atas lemari buku, menyisir rambut dan langsung melesat dengan gembira tanpa beban menuju rumah Rudi, tidak lupa membawa mobil tamiya. Menggapai sepeda dan mengayuhnya menuju rumah Rudi. Rudi sudah berdiri di depan rumahnya, dengan mobil tamiyanya di tangan. Tanpa instruksi, kami berdua langsung menuju ke taman sekolah SD yang dekat dari rumah kami.
****
Sampai di taman SD , belum sempat bermain , Kami dibuat penasaran oleh seorang anak perempuan tanpa alas kaki berdiri di pinggir jalan dengan wajah sendu. Anak perempuan usia 6 tahunan dengan rambut sebahu, agak merah, berantakan, berdiri dipinggir jalan dengan bekas air mata di pipinya. Berdiri tenang  di pinggir jalan menatap Kami berdua. Hanya menatap, tidak bergeming. Seperti patung dengan sorot mata yang tajam. Rudi agak takut dengan penampilan anak itu, seperti anak di film-film horor menurutnya. Aku membalas pandangannya. Sempat beberapa detik pandangan kami bertemu, terhenyak oleh tatapan sedihnya , Aku merinding dan terbawa suasana haru karena tatapan mata dan mimik wajahnya, seperti dihipnotis. Gadis kecil itu kemudian berlalu , menyusuri pinggiran jalan raya.
 “ Rud, kamu kenal dia gak ?”
“Nggak tahu Dam, dia bukan dari daerah sini, kaya anak hilang
Kasian tau Rud, Yaudah, Gimana kalau kita ikuti saja dia? barangkali anak kesasar” ,
Rudi mengangguk setuju.
Langsung kami berdua mengambil sepeda, mengayuh dan mengikuti gadis kecil tanpa alas kaki. Terlihat gadis kecil itu terus berjalan. Bekas goresan dan lecet-lecet di kakinya menunjukkan gadis kecil itu telah berjalan cukup jauh. Dari belakang dengan jarak 2 meteran kami berdua mengikuti gadis itu. Gadis itu terus berjalan seolah tidak punya lelah, Kami terus mengikutinya. Aspal kasar seolah tidak membuat kakinya sakit, sesekali asap kendaraan yang lewat membuatnya terbatuk-batuk, namun juga tidak membuatnya menyerah. Gadis itu terus berjalan. Dia menoleh kebelakang, terlihat jelas air matanya meleleh. Pandangan matanya menembus kami berdua, kosong, tidak menganggap dua orang yang mengikutinya.  “Dia berjalan sambil menangis” fikirku.
Gadis itu berhenti, Tetap berdiri, Dan sekarang air matanya semakin deras, tanpa suara dia menangis. Kami berdua juga berhenti. Hanya mengamati.
Kayanya dia dari tadi nangis terus Rud 
 Rudi hanya mengangguk, sambil terus mengamati gadis itu.
“Yaudah coba Aku  Tanya dia aja kali ya.. ”  
Aku turun dari sepeda dan berjalan mendekati gadis itu. Baru beberapa langkah Aku berjalan, gadis itu kembali berjalan, kali ini dia mempercepat langkahnya, setengah berlari. Aku mempercepat langkah, gadis itu seperti tahu kalau Aku mengejarnya. Dia mempercepat langkahnya, Aku berlari. Terlihat Aku dan gadis kecil itu seperti sedang bermain kejar-kejaran. Aku mampu menyusulnya dan memegang pundaknya, dia tetap berjalan. “Adek mau kemana? Adek dari mana ?” gadis itu tidak menjawab dan terus berjalan. Tempat Rudi berhenti tadi semakin jauh jaraknya . “Dek tunggu. Aku berlari menyusulnya, kali ini Aku berdiri di didepannya. Gadis itu berhenti. “Adek dari mana dan mau kemana ?” gadis itu diam, tetap mengeluarkan air mata. Dia hanya diam dan menatap  tajam ke arahku, tatapannya sayu, matanya seolah menyimpan banyak kesedihan, merah, agak sipit, lelah , air mata seolah tidak pernah berhenti keluar dari matanya, dengan wajah pucat dan tersengguk-sengguk menahan tangis. Sontak kesedihan di matanya langsung menghujam ke dalam dadaku , gadis itu diam dan terus menatapku. Tidak tahan dengan tatapannya, Aku terdiam, tidak kuat Aku menahan sedih, Aku melepas pandangan , terdiam beberapa detik, tertegun, seribu pertanyaan berputar di kepalaku. Gadis itu melewatiku dan terus berjalan.

****
Tatapan matanya masih melekat di fikiranku, entah apa, seperti berbahasa, “jangan ikuti aku, biarkan aku sendiri”. Rasa penasaran dan kasihan sepertinya sudah tidak terbendung lagi, meluap dan tumpah lewat sela-sela mataku, rasanya sesak. Siapa dia? Ada apa dengannya ? kenapa dia menangis ? kenapa dia berjalan tergesa-gesa walau sepeti tanpa tujuan? Apa yang dia cari ? kenapa tidak ada saudara atau keluarga yang mencemaskannya ?. Pertanyaan-pertanayaan itu masih terus berputar di kepalaku. Aku melihat kebelakang, Rudi masih setia menunggu sepedaku, Melihat kedepan, gadis itu masih terus berjalan hingga sampai pertigaan jalan besar menuju kota Jepara. Saya berjalan menuju tempat Rudi berdiri.
 “Bagaimana Dam ? Dia bilang apa?”
“Tidak tau dia hanya diam dan menangis” jawabku lemas.
Kembali kami berdua mengikutinya.  
Gadis kecil tanpa alas kaki itu berjalan menyusuri jalan besar yang menghubungkan Semarang – Jepara, jalan utama, tampak mobil besar berlalu lalang, berisik, berasap. Gadis itu berjalan menyusuri trotoar tidak memperdulikan sekelilingnya, terus berjalan. Kami masih setia mengikuti di belakangnya. Langit mulai menggulung kemegahannya, kapas-kapas dilangit mulai memerah , pukul 18.00 . Gadis itu berhenti, melihat ke atas, ke kanan , ke kiri, sepertinya dia juga menyadari kalau hari sudah mulai gelap, dia berjalan ke pinggir trotoar, duduk, dan menunduk. Dia kelelahan. Adzan magrib terdengar, kami memutar sepeda, berbalik arah , mencari sumber suara adzan terdekat. Melihat ke arah gadis, dia masih tetap diam , menunduk, bak patung di pinggir trotoar. Kami berjalan ke seberang, menuju mushola di pinggir jalan. Dan Sholat.
*****
“Bu, beli Roti dua sama aqua gelas dua”
Aku menyodorkan uang 2ribuan ke ibu-ibu penjaga warung klontong dipinggir jalan di depan Mushola. Aku mengamati gadis kecil itu, dia masih setia di posisinya, duduk, menunduk, bak patung dipinggir trotoar. Aku dan Rudi duduk santai di kursi kayu yang memanjang di depan warung klontong sambil memakan kue.
“aaaaaaa......., Mama, Mama, Mamaaaaaaa......., Papaaaaa”, teriakan yang bersumber dari trotoar tempat gadis itu mematung mengagetkanku. Aku menoleh kearah suara. Dua orang lelaki tinggi mendekap dan mencoba menggendong gadis itu.
“ga mauuuuuu, gaa maauuuuu , Aku mau Mamaaaa ....” teriak gadis itu. Langsung Aku berlari kearah gadis kecil itu. “mamaaaaa... maamaaaa....” suaranya makin keras, memekik, membuat bergetar iba hati siapa saja yang mendengarnya. “Aku pengen ketemuuu mamaaaaa, Aku pengen ketemuuu Mamaaa” gadis itu terus meronta-ronta, memukul-mukul dan menendang dua orang lelaki yang mendekap dan mencoba menggendongnya. “Iyaa, Miil, pulang dulu yaa, nanti ketemu mama, mama Mila udah menunggu dirumah” bujuk salah seorang lelaki itu. Gadis itu diam, matanya menerawang, kosong. Kedua laki-laki itu melepas dekapannya. Gadis itu berdiri, membelakangi mereka. “Mama sudah pergi, mama banyak darah, Papa juga ” lirih gadis itu tersengguk-sengguk. Aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi dengan gadis kecil itu. Aku beranikan diri bertanya kepada dua orang laki-laki tadi. “Gadis kecil itu kehilangan kedua orang tuanya. Orang tuanya meninggal saat mereka bertiga sedang berbelanja. Motor mereka tertabrak truk besar bermuatan semen. Ayah dan Ibunya terlindas dan dia selamat. Saat itu dia hanya menangis di depan jasad ayah dan ibunya yang telah hancur mengenaskan”.
Paku-paku kecil tajam setajam tatapan mata gadis itu meluncur dan menusuk-nusuk hatiku lewat mulut lelaki itu. Perih sekali mendengarnya. Aku mengamati gadis itu, wajahnya seperti tanpa cahaya, muram dirundung kesedihan, kesedihan ditinggal kedua orang tua yang amat dicinta. Aku menerawang keatas, kelangit yang juga kehilangan cahayanya, dibalut pekatnya malam, mengedip-ngedipkan mata, menahan luapan kesedihan yang hendak keluar dari sela-sela bola mata. Selintas terbersit wajah ibuku, detail dengan garis-garis diwajah, coklat dan berlipat disudut-sudut mata.





0 komentar

Posting Komentar