“Quumuu qiyaama” , teriak salah seorang murid. Serempak anak-anak sekelas
berdiri menghormati Ustadz yang berdiri di depan kelas. Ustadz memberikan salam
kemudian berjalan keluar ruangan kelas.
“Dam, horee kelas
kita pulang cepat , ayo kita maen mobil-mobilan tamiya ! , kita adu balap di taman sekolah” kata Rudi sambil
mengemasi buku tulis diatas mejanya.
“ Ayo Rud ,
jarang-jarang ada kesempatan buat maen di sore hari” , jawabku tersenyum sambil
bergegas keluar kelas, disusul Rudi yang berjalan dibelakangku. Kami berjalan
di lorong kelas menuju tempat parkir sepeda. Terlihat dari pintu-pintu kelas
disamping lorong, Ustadz sedang mengajar kakak-kakak kelas Kami. Kami mengambil
sepeda yang diparkir di belakang plang bertuliskan “Madrasah Roudhotul Athfal”
****
“Assalamualaikuuum,
Adam pulang Buuu” teriakku sembari berhambur masuk ke rumah. “Lho kok, jam
segini udah pulang dam ? jangan lupa ganti baju, digantung, jangan dilempar di
kursi” Suara perempuan tua yang tidak lain adalah ibuku terdengar dari dapur
. Segera
Aku menaruh tas, mengganti baju, melemparnya ke kursi,
dan melemparkan peci ke atas lemari
buku, menyisir rambut dan langsung melesat dengan gembira tanpa beban
menuju rumah Rudi,
tidak lupa membawa mobil tamiya.
Menggapai sepeda dan mengayuhnya menuju rumah Rudi. Rudi sudah
berdiri di depan rumahnya, dengan mobil tamiyanya
di tangan. Tanpa instruksi, kami
berdua langsung menuju ke taman sekolah SD yang dekat dari rumah kami.
****
Sampai di taman SD , belum sempat
bermain , Kami
dibuat penasaran oleh seorang anak
perempuan tanpa alas kaki berdiri di pinggir
jalan dengan wajah sendu. Anak perempuan usia 6 tahunan dengan rambut sebahu, agak merah, berantakan, berdiri dipinggir
jalan dengan bekas air mata di pipinya. Berdiri
tenang di pinggir jalan menatap Kami berdua. Hanya menatap, tidak bergeming. Seperti patung dengan
sorot mata yang tajam. Rudi agak takut dengan penampilan anak itu, seperti anak
di film-film horor menurutnya. Aku membalas pandangannya.
Sempat beberapa detik pandangan kami
bertemu, terhenyak oleh tatapan sedihnya , Aku merinding dan terbawa
suasana haru
karena tatapan mata dan mimik wajahnya,
seperti dihipnotis. Gadis kecil itu kemudian berlalu , menyusuri pinggiran
jalan raya.
“
Rud,
kamu kenal dia gak
?”
“Nggak
tahu Dam, dia bukan dari daerah
sini, kaya anak hilang”
“Kasian tau Rud, Yaudah, Gimana
kalau kita ikuti saja
dia? barangkali anak kesasar”
,
Rudi mengangguk setuju.
Langsung kami berdua mengambil
sepeda, mengayuh dan mengikuti gadis kecil tanpa alas kaki. Terlihat gadis
kecil itu terus berjalan. Bekas goresan dan lecet-lecet di kakinya menunjukkan
gadis kecil itu telah berjalan cukup jauh. Dari belakang dengan jarak 2 meteran
kami berdua mengikuti gadis
itu. Gadis itu terus berjalan seolah tidak punya lelah, Kami terus mengikutinya.
Aspal kasar seolah tidak membuat kakinya sakit, sesekali asap kendaraan yang
lewat membuatnya terbatuk-batuk,
namun juga tidak membuatnya menyerah. Gadis
itu terus berjalan. Dia menoleh
kebelakang, terlihat jelas air matanya meleleh. Pandangan matanya menembus kami
berdua, kosong, tidak menganggap dua orang yang mengikutinya. “Dia berjalan sambil menangis” fikirku.
Gadis itu berhenti, Tetap berdiri, Dan sekarang air matanya
semakin deras, tanpa suara dia menangis. Kami berdua juga berhenti. Hanya mengamati.
“ Kayanya
dia dari tadi
nangis
terus Rud”
Rudi hanya mengangguk,
sambil terus mengamati gadis itu.
“Yaudah coba Aku Tanya dia aja kali ya.. ”
Aku
turun dari sepeda dan berjalan mendekati gadis itu. Baru beberapa langkah Aku berjalan, gadis itu
kembali berjalan, kali ini dia mempercepat langkahnya, setengah berlari. Aku mempercepat langkah,
gadis itu seperti tahu kalau Aku
mengejarnya. Dia mempercepat langkahnya, Aku berlari. Terlihat Aku dan gadis kecil itu
seperti sedang bermain kejar-kejaran. Aku mampu menyusulnya dan memegang pundaknya, dia
tetap berjalan. “Adek
mau kemana? Adek dari mana ?” gadis itu tidak menjawab dan terus berjalan. Tempat Rudi berhenti tadi
semakin jauh jaraknya . “Dek tunggu”.
Aku berlari menyusulnya,
kali ini Aku
berdiri di didepannya. Gadis itu berhenti. “Adek dari mana dan mau kemana ?”
gadis itu diam, tetap mengeluarkan air mata. Dia hanya diam dan menatap tajam ke arahku, tatapannya sayu, matanya seolah
menyimpan banyak kesedihan, merah, agak sipit, lelah , air mata seolah tidak
pernah berhenti keluar dari matanya, dengan wajah pucat dan tersengguk-sengguk
menahan tangis. Sontak kesedihan di matanya langsung menghujam ke dalam dadaku , gadis itu diam dan
terus menatapku.
Tidak tahan dengan tatapannya, Aku
terdiam, tidak kuat Aku menahan sedih, Aku melepas pandangan ,
terdiam beberapa detik, tertegun, seribu pertanyaan
berputar di kepalaku.
Gadis itu melewatiku
dan terus berjalan.
****
Tatapan matanya masih melekat di
fikiranku, entah apa, seperti berbahasa, “jangan ikuti aku, biarkan aku
sendiri”. Rasa penasaran dan kasihan sepertinya sudah tidak terbendung lagi, meluap dan tumpah lewat sela-sela mataku, rasanya
sesak. Siapa dia? Ada apa dengannya ? kenapa dia menangis ? kenapa dia berjalan
tergesa-gesa walau sepeti
tanpa tujuan? Apa yang dia cari ? kenapa tidak ada saudara atau keluarga yang
mencemaskannya ?. Pertanyaan-pertanayaan itu masih terus berputar di kepalaku.
Aku melihat kebelakang, Rudi masih setia menunggu sepedaku, Melihat kedepan,
gadis itu masih terus berjalan hingga sampai pertigaan jalan besar menuju kota
Jepara. Saya berjalan menuju tempat Rudi berdiri.
“Bagaimana Dam ?
Dia bilang apa?”
“Tidak tau dia hanya diam dan menangis”
jawabku lemas.
Kembali kami berdua mengikutinya.
Gadis kecil tanpa alas kaki itu berjalan
menyusuri jalan besar yang menghubungkan Semarang – Jepara, jalan utama, tampak
mobil besar berlalu lalang, berisik, berasap. Gadis itu berjalan menyusuri
trotoar tidak memperdulikan sekelilingnya, terus berjalan. Kami masih setia
mengikuti di belakangnya. Langit mulai menggulung kemegahannya, kapas-kapas
dilangit mulai memerah , pukul 18.00 . Gadis itu berhenti, melihat ke atas, ke
kanan , ke kiri, sepertinya dia juga menyadari kalau hari sudah mulai gelap,
dia berjalan ke pinggir trotoar, duduk, dan menunduk. Dia kelelahan. Adzan
magrib terdengar, kami memutar sepeda, berbalik arah , mencari sumber suara
adzan terdekat. Melihat ke arah gadis, dia masih tetap diam , menunduk, bak
patung di pinggir trotoar. Kami berjalan ke seberang, menuju mushola di pinggir
jalan. Dan Sholat.
*****
“Bu, beli Roti dua
sama aqua gelas dua”
Aku menyodorkan
uang 2ribuan ke ibu-ibu penjaga warung klontong dipinggir jalan di depan
Mushola. Aku mengamati gadis kecil itu, dia masih setia di posisinya, duduk,
menunduk, bak patung dipinggir trotoar. Aku dan Rudi duduk santai di kursi kayu
yang memanjang di depan warung klontong sambil memakan kue.
“aaaaaaa......., Mama,
Mama, Mamaaaaaaa......., Papaaaaa”, teriakan yang bersumber dari trotoar tempat
gadis itu mematung mengagetkanku. Aku menoleh kearah suara. Dua orang lelaki
tinggi mendekap dan mencoba menggendong gadis itu.
“ga mauuuuuu, gaa
maauuuuu , Aku mau Mamaaaa ....” teriak gadis itu. Langsung Aku berlari kearah
gadis kecil itu. “mamaaaaa... maamaaaa....” suaranya makin keras, memekik,
membuat bergetar iba hati siapa saja yang mendengarnya. “Aku pengen ketemuuu
mamaaaaa, Aku pengen ketemuuu Mamaaa” gadis itu terus meronta-ronta,
memukul-mukul dan menendang dua orang lelaki yang mendekap dan mencoba
menggendongnya. “Iyaa, Miil, pulang dulu yaa, nanti ketemu mama, mama Mila udah
menunggu dirumah” bujuk salah seorang lelaki itu. Gadis itu diam, matanya
menerawang, kosong. Kedua laki-laki itu melepas dekapannya. Gadis itu berdiri,
membelakangi mereka. “Mama sudah pergi, mama banyak darah, Papa juga ”
lirih gadis itu tersengguk-sengguk. Aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi dengan gadis kecil
itu. Aku beranikan diri bertanya kepada dua orang laki-laki tadi. “Gadis kecil
itu kehilangan kedua orang tuanya. Orang tuanya meninggal saat mereka bertiga
sedang berbelanja. Motor mereka tertabrak truk besar bermuatan semen. Ayah dan
Ibunya terlindas dan dia selamat. Saat itu dia hanya menangis di depan jasad
ayah dan ibunya yang telah hancur mengenaskan”.
Paku-paku kecil
tajam setajam tatapan mata gadis itu meluncur dan menusuk-nusuk hatiku lewat
mulut lelaki itu. Perih sekali mendengarnya. Aku mengamati gadis itu, wajahnya
seperti tanpa cahaya, muram dirundung kesedihan, kesedihan ditinggal kedua
orang tua yang amat dicinta. Aku menerawang keatas, kelangit yang juga
kehilangan cahayanya, dibalut pekatnya malam, mengedip-ngedipkan mata, menahan
luapan kesedihan yang hendak keluar dari sela-sela bola mata. Selintas
terbersit wajah ibuku, detail dengan garis-garis diwajah, coklat dan berlipat
disudut-sudut mata.
0 komentar
Posting Komentar