Aku masih mengamati buku tipis berwarna merah hitam
dengan simbol-simbol huruf yunani. Mencoba memahami apa yang tertulis. Sementara,
angin malam berhembus sepoi-sepoi, mengelus-elus kulit sawo matangku lewat
jendela yang Aku biarkan menganga. Dingin menusuk tulang.
“Ah andai saja simbol-simbol Yunani ini seperti bahasa
sastra nan indah. Menyenangkan tatkala Aku membacanya, tak jenuh walau harus Aku
mengulang-ulangnya”. Sayangnya buku tipis itu adalah buku fisika kuantum.
Bahasanya kaku dipenuhi simbol dan sama sekali tidak berseni. Baru beberapa
kalimat sudah membuat mataku perih.
Buku itu diam di depanku. Menyapaku. Meminta untuk Aku
menyentuhnya, membelai-belai tiap halamannya. Andai Ia mampu bercengkrama, Aku
tak perlu bersusah-susah untuk mengorek maksud dan tujuan-tujuannya. Langsung
saja Aku menyuruh untuk membeberkannya, seperti seorang cerewet yang terus
berkata-kata tanpa henti dan Aku sebagai pendengar setianya.
“Ayo dong ngerti maksudnya ... “ Aku menggerutu sendiri.
Kesal. Entah kepada siapa. Apa Aku yang semakin bodoh, atau buku ini yang
memang sengaja berbelit-belit. “ah ini pasti bukunya aja yang lebay”. Aku
menaruhnya. Tak lagi menghiraukannya.
Angin masih semilir, udara dingin dari barat menyelimuti
siapapun. Hiruk pikuk jalan raya sudah tidak terdengar. Orang-orang sudah larut
dalam kenyamanan selimut tebalnya. Merikuk di kasur. Memanjakan tiap
sendi-sendi di tubuhnya. Begitu juga Aku. Aku memeluk erat bantal-bantal yang
empuk. Nyaman sekali. Udara dingin tak mampu mengalahkan hangatnya
bantal-bantalku. Aku merebahkan tubuh dan tidur terlentang. Kedua tangan
kuselipkan dibelakang kepala. Serta merta lamunanku melayang. Oh .. nyaman
sekali.
“Barang
siapa yang enggan merasakan pahitnya belajar, maka ia tidak akan pernah merasakan
manisnya ilmu”. Di tengah
kasur, kenyamanan lamunanku terusik, kata-kata Imam syafi’i bak air es yang
mengguyurku dimalam yang teramat dingin. Dingin sekali. Menusuk-nusuk tulang.
Membuat menggigil. Kini kasurku yang hangat, bantal-bantalku yang empuk tidak
lagi membuatku nyaman. Malah membuatku semakin menggigil. Membekukan semua
lamunanku, lalu retak dan kemudian buyar.
Aku mencoba bangkit. Melawan beribu kemalasan yang sedari
tadi bergelayut di pundakku.”bismillahirrahmaanirrahim, laa haulaa walaa
quwwata illaa billaahil ‘aliyyil aadziim.” Aku
berdiri tegap. Cukup ringan, sepertinya beberapa setan yang menjerat
satu persatu mulai lepas. Aku melangkahkan kaki agak gontai keluar kamar. Kuambil
air wudhu, mulai dari muka , tangan , rambut kemudian kaki tidak terlewat untuk
kuusap. Ah... segar sekali. Rasa malas satu persatu lepas. Tubuh ini menjadi
ringan. Mata yang sedari tadi agak buram karena mengantuk kini terbuka lebar
dan menatap tajam.
“Allahummarzuqnaa
fahman Nabiyyiin, wa hifdzol mursaliin, wa ilhaamal Malaaikatil muqorrobiin,
birohmatika yaa arhamar Roohimiin”. Aku mengawalinya dengan memanjatkan doa kepada Allah, ‘Allaamul Ghuyub
(Dzat Yang Mengetahui Hal-Hal Gaib) agar diberi kemudahan untuk sedikit
mengetahui tentang hal-hal gaib. Karena bahasan fisika kuantum adalah hal-hal
gaib yang tidak kasat mata, imajinasi pun sulit, yang bahkan hasil
perhitungannya adalah probabilitas, kemungkinan-kemungkinan, belum menjadi
sesuatu yang pasti.
“Ya Allah, Ilmu yang Engkau turunkan di muka bumi pasti
ada manfaatnya. Mungkin diri ini yang masih bodoh yang belum mengerti hakikat
dari ilmu-ilmu itu, belum bisa menjadi Ulil Albab yang mampu mentafakkuri semua
yang Engkau ciptakan, baik dalam skala makro maupun mikro, hamba yakin Engkau
menciptakan semuanya tidak sia-sia, semuanya penuh hikmah dan pelajaran. Ya
Allah berilah kemudahan”. Aku memantapkan niat dalam hati. Aku buka buku itu
dengan mata berbinar berharap mendapatkan ilham dan langsung mengerti semuanya.
Aku menyalin ulang apa yang tertulis di buku dan catatan-catatan, Learning By
Doing. Dalam hati Aku berkata “Semoga UAS Fisika Kuantum nanti dimudahkan.
Semangat untuk Fisika Unpad 2011”.
0 komentar
Posting Komentar